Kamis, 06 Maret 2008

struktural semiotik dan feminisme dalam puisi

  1. Pendahuluan

  1. Latar Belakang

Puisi merupakan genre sastra yang memiliki daya pengimajian yang tinggi. Oleh karena itu puisi menempati posisi yang istimewa, dianggap sebagai bentuk sastra yang paling sastra. Bahasa estetis yang ditampilkan paling padat, sublim liar, dan elok. Teew dalam Wijoto (2001) memandang bahwa puisi-puisi di Indonesia memiliki beberapa diksi yang menmpati peringkat estetis yang tinggi. Diksi-diksi yang digunakan dalam puisi seakan-akan membangkitkan mitologi kesucian puisi dari diksi khalayak riuh. Diksi-diksi itu seperti cinta, dendam, lembah, kematian, keabadian, sunyi, sepi, ilalang yang merupakan kata yang sudah tidak asing lagi. Hampir di setipa puisi menghadirkan kosa kata yang demikian.

Kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” karya Dorothea Rosa Herliany juga banyak memunculkan diksi yang sudah tidak awam bagi pembaca puisi. Hal itu dapat dilihat dari beberapa judul yang menghiasi halaman daftar isi. Dari judul tesebut pembaca sudah dapat melihat diksi yang dimaksud, seperti: Nikah Ilalang, Prosa Daundaun, Puisi Keabadian, Puisi Keakasih, dan Sajak Bercinta. Jika ingin membaca lebih lanjut, maka pembaca dapat menemukan ratusan diksi yang bernilai sangat estetis dan menampilkan suasana perlawanan untuk mensejajarkan kedudukan antara pribadi dan perempuan, meskipun hanya melalui bahasa puisi.

Kumpulan sajak ini berisi 112 puisi dengan tema yang hampir sama, namun subjek yang spesifik dengan gender dan emansipasi diambil 25 puisi yang relevan.

Dorothea Rosa Herliany, lahir di Magelang, 20 Oktober 1963. ia merupakan salah satu penulis perempuan yang sangat potensial. Hal itu ditunjukkan melalui karya-karyanya yang terhampar baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti: Horison, Kompas, Solidarity (Filipina), dan Heat (Australia).

Buku kumpulan puisi yang sudah terbit antara lain: Nyanyian Gaduh (1987), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), MimpiGugur Daun Zaitun (1999).

Dorothea Rosa Herliany merupakan penyair yang banyak menyiarkan puisi-puisinya di sepanjang dekade 80-90an, di antara penyair perempuan lainnya seperti Tien Marni, Upita Agustine, Nyoman Netiningsih, Muliarti Aryani, Siti Zar’ah, Dhenok Kristanti, Nana Ernawati, atau Ulfiatin CH, yang sebagian besar lahir tahun 60an, dan sebagian aktivitas kepenyairan mereka tidak kedengaran lagi (Malna, 2003: 117)

Kumpulan puisi ini dikaji secara interdisipliner yaitu melalui pendekatan struktural semiotik dan pendekatan feminisme. Pendekatan struktural semiotik difokuskan pada diksi dan kiasan bahasa yang digunakan dalam puisi yang menunjukkan adanya gender dan emansipasi wanita yang tidak lain menggunakan pendekatan feminisme dalam kajian analisisnya.

Kumpulan puisi ini sangat sesuai dikaji secara struktural semiotik dan feminisme karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kumpulan puisi ini memiliki ratusan diksi dan bahasa kiasan yang bernilai sangat estetis dan menampilkan suasana perlawanan untuk mensejajarkan kedudukan antara pria dan perempuan. Selain itu, puisi ini memang sangat menarik karena Dorothea mampu mengungkapkan kekuatan rasa keperempuanannya yang sangat tinggi dan mendalam melalui rangkaian kata-katanya setiap tulisannya dalam kumpulan puisi ini. Seperti yang dikemukakan oleh Alka (2005) bahwa kompleksitas rasa pada perempuan memiliki daya penggugah yang cukup kuat untuk menulis puisi. Perasaan pada perempuan begitu dalam. Karena itu, potensi perempuan dalam menulis puisi kemungkinan dapat melebihi laki-laki. Perempuan mampu mengubah kekuatan perasaannya membentuk aksara di atas kertas, membawa kata menjadi bermakna, menjadikan imajinasi penuh rasa. Dan mengungkap realitas dengan perasaan yang dalam menjadi puisi yang terurai dan berkembang. Hal semacam itulah yang dimiliki oleh Dorothea yang tertuang melalui kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” ini.

Dorothea mampu menciptakan diksi yang melebihi diksi yang digunakan oleh laki-laki, demikian pula dengan pemakaian bahasa kiasannya. Diksi dan bahasa kiasan ini yang digunakan untuk menunjukkan sisi feminitas pada diri seorang perempuan.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1) Bagaimana penggunaan diksi dan kiasan bahasa yang digunakan dalam kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” karya Dorothea Rosa Herliany?

2) Bagaimana diksi dan kiasan bahasa tersebut menunjukkan adanya gender dan emansipasi wanita dalam kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” karya Dorothea Rosa Herliany?


C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan penggunaan diksi dan kiasan bahasa yang digunakan dalam kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” karya Dorothea Rosa Herliany

2) Mendeskripsikan diksi dan kiasan bahasa yang menunjukkan adanya gender dan emansipasi wanita dalam kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” karya Dorothea Rosa Herliany


D. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoretis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memahami teori-teori tentang karya sastra, terutama kajian interdisipliner melalui pendekatan struktural semiotik dan feminisme melalui pengkajian puisi. Dengan demikian dapat memberikan kontribusi tambahan dalam dunia kritik sastra mengenai pengkajian puisi.

  1. Manfaat Praksis

Dengan adanya penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan pembaca terhadap pengkajian puisi melalui pendekatan struktural semiotik dan feminisme sehingga dapat menambah wawasan untuk penelitian selanjutnya.

  1. Kajian Pustaka

A. Kajian Teoretis

1) Strukturalisme Semiotik

Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi (Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara keseluruhan.

Munculnya kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme.

Menurut Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut dengan kajian struktural semiotik.

Semiotik sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).

Dengan studi interdisipliner ini, teori strukturalisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik karena mengaitkan dengan teori feminisme. Hal ini sejalan dengan pernyataan Darma (2004: 85) strukturalisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik, jika strukturalisme digunakan sebagai studi interdisipliner. Mengaitkan antara sastra dengan antropologi, sosiologi, sejarah, psikologi, maupun bidang kajian sastra yang lainnya. Seedangkan feminisme adalah bagian dari pendekatan sosiologi sastra.

Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.

          1. Konsep Saussure

Bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda.

Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).

Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:

  • Parole dan Langue

Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.

  • Paradigmatik dan Sintagmatik

Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat.

Pilihan bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi), aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna (Nurgiyantoro, 2002: 49).

  • Diakroni dan Sinkroni

Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Sedangkan sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.

          1. Konsep Peirce

Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:

  • Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:

(1) Qualisigns

Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’ dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan sebagainya.

  1. Sinsigns

Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan lain-lain.

  1. Legisigns

Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’ pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.

    • Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:

  1. Ikon

Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:

    • Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang

    • Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur

    • Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan

Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).

  1. Indeks

Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.

  1. Simbol

Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.

    • Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:

  1. Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep

Contoh: “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.

  1. Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.

Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.

  1. Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.

Kajian semiotik menggunakan dua model pembacaan sebagai berikut.

          1. Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Yang dilakukan dalam pembacaan ini antara lain menerjemahkan atau memperjelas arti kata-kata dan sinonim-sinonim.

Pembacaan heuristik pada puisi dapat dilakukan dengan parafrase dengan menggunakan bahasa yang lebih logis (pemaknaan yang sesuai dengan sintaksis/tata bahasa). Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan sisipan kata atau sinonim kata-katanya yang dapat diletakkan dalam tanda kurung. Struktur kalimat dapat disesuaikan pula dengan kalimat baku.

          1. Pembacaan Hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang dilakukan secara berulang-ulang (retroaktif) atau berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua (konvensi sastra). Hal itu dilakukan untuk memperoleh daya interpretasi yang baik dalam mengungkapkan bahasa puisi yang lebih luas menurut maksudnya. Pembacaan hermeneutik ini berkaitan dengan konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ekspresi puisi (Riffaterre dalam Jabrohim, 2003: 97). Ketaklangsungan ekspresi puisi mencakup tiga hal (Endraswara, 2003: 66), yaitu:

  1. penggantian arti (displacing of meaning)

adanya pemakaian bahasa kias, seperti metafora, personifikasi, alegori, metonimia, dan sebagainya. Misal: “bumi ini perempuan jalang” (Dewa Telah Mati karya Chairil Anwar) berupa metafora ini membandinngkan antara bumi dengan perempuan jalang (liar), berarti penyair ingin menyampaikan betapa “kejamnya” bumi ini.


  1. penyimpangan arti (distorting of meaning)

penyimpangan arti muncul karena tiga hal, yaitu:

  1. ambiguitas, muncul disebabkan oleh pemakaian bahasa sastra yang multimakna. Misal: “mengembara di negeri asing” (Doa karya Chairil Anwar) jelas melukiskan ambigu makna, yakni suasana bingung, tidak jelas, kabur, dan sunyi.

  2. Kontradiksi, berupa perlawanan situasi. Misal: “serasa hidup dan mati, hidup di dunia seperti di neraka jahanam”

  3. Nonsence, kata-kata yang secara lingual tidak bermakna karena adanya permainan bunyi. Misal: “pot pot pot” (Amuk karya Sutardji Calzoum Bachri)

  1. penciptaan arti (creating of meaning)

penciptaan arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misal: enjambemen, persajakan, homologues (persejajaran bentuk maupun baris), dan tipografi. Misal: puisi Tragedi Sihka dan Winka.

Hal ini mengisyaratkan bahwa Sistem tanda pada puisi mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi sastra. Konvensi-konvensi puisi tersebut antara lain: konvensi kebahasaan (bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa), konvensi yang menunjukkan ketaklangsungan ekspresi puisi (penyimpangan arti, penggantian arti, dan penciptaan arti), konvensi visual (bait, baris sajak, enjambemen, rima, tipografi, dan homologue (Jabrohim, 2003: 70).

Dalam penelitian kali ini teori yang digunakan adalah teori Saussure antara penanda dan petanda. Berkaitan dengan pengkajian puisi ini maka konvensi sastra yang digunakan adalah diksi dan bahasa kiasan.


        1. Diksi dan Bahasa kiasan

          1. Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat, dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca (Tjahjono, 1990: 59). Diksi dalam puisi dapat menggunakan makna denotatif mupun makna konotatif.

Diksi dan pola kalimat merupakan unsur-unsur struktur sintaktik. Penyair harus cermat dalam memilih kata. . Kata-kata dipilih dengan mempertimbangkan makna, komposisi bunyi rima dan iramanya, serta kedudukan katanya di tengah kata lain dan keseluruhan tulisan. Tiap kata jadi memiliki makna. Tiap kata menjadi konkrit dan khusus, atau abstrak dan umum (Luxemburg dkk., 1989: 192). Diksi puitis, menurut Waluyo dalam Kurnia (2000) mengalami penyimpangan bahasa yaitu dengan ciri-ciri berikut.

    1. Penyimpangan semantis

Makna puitis berjumlah banyak, tidak hanya mewakili satu makna, tidak selalu sama dengan makna kata sehari-hari, serta tidak dikonotasikan sama oleh para penyair. Kata sungai akan berarti bencana bagi penyair dari daerah banjir. Tapi jadi bermakna rejeki bagi penyair yang hidup di wilayah penangkap ikan dan penambang sungai.

Goenawan Mohamad, dalam Sajak New York (Asmaradana, 1992) melihat “bulan”: . . . . dari hutan Manhattan/ ia lari / ke Central Park hitam / meluncur, / di arena es, / ketika daun mapel / memainkan orkes. Dalam sajak ini, “bulan” bagai orang yang tengah melakukan kegiatan jalan-jalan di suasana malam kota New York. “Bulan” menjadi “ia”, seseorang yang tengah menikmati malam di kota besar, Amerika, sekaligus suasana New York yang pada musim dingin yang hanya menampakkan taman kota yang “hitam”, menjadi tempat berseluncur es, dalam keriuhan angin memainkan “daun mapel”, menimbulkan musik seperti “orkes”: penggambaran seorang penyair yang bertemu dengan suasana puitik dari pranata sosial megapolis New York, di malam hari.

    1. Register

Register adalah ragam bahasa, dari sebuah kelompok atau sebuah kelas sosial. Dialek register disebut juga dialek profesi. Dialek Register sering tidak dikenali lagi walau kerap diambil (berasal) dari kosa kata daerah. Kata lembu peteng, misalnya: yang sering diucapkan aristokrat Jawa, ketika menunjuk anak hasil hubungan gelap. Contoh lain, ialah: kumpul kebo, procotan, Paman Doblang, simbok, den mas, sungkem, bihten.

    1. Kata-kata sugestif (memiliki daya sugesti)

Daya sugesti dipertimbangkan penyair ketika memilih kata. Kekuatan sugesti ditimbulkan oleh makna. Pilihan dan penempatannya seolah memancarkan daya gaib hingga menyugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, atau marah.

  1. Kata imajis (menyiratkan imaji)

Kata imajis ialah susunan kata yang mencitrakan pengalaman sensoris seperti melihat, mendengar dan meraba. Pembaca seolah melihat benda (imaji visual), seolah mendengar suara (imaji auditif), atau seolah dapat merasa, meraba, dan menyentuhnya (imaji taktil) setelah penyair mencoba mengkonkritkan obyeknya menjadi mirip musik, gambar, atau citarasa tertentu.

Chairil Anwar mengimajikan rasa ngeri dan tercekam menghadapi maut ketika menulis: “Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin” (Yang Terempas dan Yang Terputus, 1949) Goenawan Mohamad melihat “….malam/tinggal separoh/ dan bulan/ pelan/ seperti pemain Noh”, dalam Hiroshima, Cintaku (1989-90). Ia memvisualisasikan suasana malam yang memanjang dan memberat melalui imaji “bulan” yang melambangkan waktu, yang bergerak lambat seperti gerakan tarian Noh dari penari tradisionil Jepang.

  1. Kata konkret (terasa konkret)

Kata konkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkrit. Kata-kata jadi mengias ke realitas. Seperti pengimajian, pengonkritan menggunakan kiasan dan lambang yang membuat pembaca seolah melihat, mendengar, atau Chairil Anwar mengungkapkan pertemuannya ke jalan Tuhan, dengan kata-kata: “Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling” (Doa, 1943). Sutardji Calzoum Bachri mengungkapkan kegelisahan mencari Tuhan, dengan: “semua orang membawa kapak/ semua orang bergerak pergi/” (Kapak, 1 Goenawan Mohamad, dalam Don Lopez de Cardenas di Grand Canyon, Amerika (1998) menulis: Di pagi hari / di tahun 1540 itu / Don Lopez de Cardenas tiba / dari dataran tinggi / yang membosankan. // Ia hentikan kudanya / di dekat / sebatang panderosa tua / yang tumbang, // dan ketika ia / lepaskan kaki / sebentar / dari sanggurdi, / untuk membetulkan taji pada lars sepatunya, / ada seorang Navajo / yang datang, / setengah telanjang, / berlari-lari, / menunjukkan arah / ke sebuah ngarai / yang kemudian/ disaksikannya sendiri / dengan kaki gemetar.” //

          1. Bahasa Kiasan

Bahasa kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).

Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:

(1) metafora

metafora membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro, 2002: 27)


(2) personifikasi

personifikasi adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia (inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)

(3) metonimia

metonimia berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)

(4) hiperbola

hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)

(5) simile

simile merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)

(6) alegori

alegori yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.


3. Teori Feminisme

Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Tujuan feminis menurut Ratna (2004: 184) adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya. Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama ini seolah-olah perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup. Perempuan merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan hanya dianggap sebagai ”bumbu penyedap” dalam hidup laki-laki. Adanya pemikiran tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus berjuang keras untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia.

Menurut Teew (dalam Ratna, 2004: 183-184) ada beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat, yaitu:

a. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.

b. radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam,

c. lahirnya gerakan pembebasan,

d. sekularisasi,

e. perkembangan pendidikan yang khusus dinikmati perempuan,

f. reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial seperti kritik baru dan strukturalisasi,

g. ketidak puasan terhadap teori dan praktik ideologi marxis orthodoks.

Adanya gerakan feminis di Barat tersebut membawa dampak yang luas ke berbagai negara lain, khusunya di Indonesia. Hal ini mulai ditandai dengan munculnya karya sastra yang bernada feminisme. Sebut saja Ayu Utami dengan Saman dan Larungnya, Djenar Maesa Ayu dengan Kumpulan Cerita Cinta Pendek dan di bidang puisi ada Abidah El-Khalieqy dan Dorothea Rosa Herliany yang kumpulan puisinya akan dijadikan sumber penelitian kali ini.

Jadi bisa dikatakan bahwa gerakan feminis adalah suatu gerakan untuk mendobrak tataran sosial secara keseluruhan terhadap nilai-nilai perempuan agar mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial pilitik, ekonomi, dan hukum seperti yang diperoleh oleh laki-laki selama ini.

Menurut Ratna (2005: 226) gerakan feminis secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. Sedangkan Ritzer dalam Ratna (2005: 231) feminis termasuk teori sosial kritis, teori yang melibatkan diri dalam persoalan pokok dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada dalam kondisi tertindas. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu a) feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan, b) feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender, c) feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender, sedangkan yang kedua pada kelas, d) feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan e) feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).

Dalam dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kritik sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Kolodny dalam Djajanegara (2000: 19) menyatakan bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksul, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk) mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka.

Sugihastuti (2002: 140) mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.

Dengan mengacu pada pendapat Sugihastuti di atas, Kolodny dalam Djajanegara (2000: 20-30) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:

a. dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di abad silam;

b. membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan.

Berkaitan dengan cara penilaian, Djajanegara (2000: 28-36) membagi ragam kritik sastra feminis menjadi enam bagian, yaitu:

a. kritik sastra feminis ideologis: kritik sastra yang memusatkan perhatian pada citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra;

b. kritik sastra feminis ginokritik: kritik sastra yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah para perempuan penulis merupakan kelompok khusus, dan ada perbedaan antar tulisan perempuan dan tulisan laki-laki;

c. kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh pertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat;

d. kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang dibacanya;

e. kritik sastra feminis lesbian: kritik sastra feminis yang hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Pengkritik sastra lesbian memiliki tujuan mengembangkan definisi ioni dapat diterapkan pada diri penulis atau karyanya. Namun karena beberapa faktor, kritik ini masih sangat terbatas kajiannya;

f. kritik sastra feminis ras atau kritik sastra feminis etnik: kritik sastra feminis yang ingin membuktikan kebenaran sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-karyanya.

Endraswara (2003: 146) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme yang difokuskan adalah:

a. kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,

b. ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan,

c. memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra.

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus dalam menganalisis kumpulan puisi karya Dorothea Rosa Herliany ini ditekankan pada faktor pembaca sastra tentang tanggapan terhadap gender dan emansipasi wanita dalam bait-bait puisi tersebut. Lebih tepatnya, Culler dalam Sugihastuti (2002: 139) bahwa konsep yang menggunakan kritik sastra feminis yang demikian disebut konsep reading as woman. Konsep yang sekiranya pantas digunakan untuk membongkar hegemoni laki-laki yang patriarkal.


4. Gender dan Emansipasi

Teori feminis tidak terlepas dengan istilah gender dan emansipasi. Feminisme melahirkan Gender sebagai wacana diskursus yang membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin (Said Ramadhan dalam Alka, 2005).

Dalam karya sastra, permasalahan mengenai gender merupakan bentukan dari kebudayaan khusus bentukan budaya patriarki yang mendudukan posisi tperempuan sebagai inferior sedangkan laki-laki sebagai superior. Berarti gender itu menggambarkan tentang perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa gender dan jenis kelamin yaitu feminin-maskulin ditentukan secara kultural, sebagai hasil pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, feminitas mngandung pengertian psikologis kultural seseorang tidak dilahirkan ”sebagai” perempuan, melainkan ”menjadi” perempuan (Ratna, 2004: 184-185).

Gender merupakan konstruksi sosial yang oleh masyarakat tradisional-patriarki dibentuk untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Munculnya istilah ”gender” digunakan untuk mereduksi feminitas dan maskulinitas sebagai batasan yang sama dengan suatu jenis kelamin pada individu. Peran gender adalah peran yang dibuat oleh masyarakat untuk laki-laki dan perempuan. Gender ini lebih bersifat performatif, berarti identitas gender seseorang yang dihasilkan melalui penampilan (performance) dan permainan peran (role-playing) (Judith Butler dalam Cavallaro, 2004: 196).

Selden (1996: 137) memberikan gambaran bahwa perempuan terlihat dalam suatu hubungan berat sebelah dengan laki-laki. Laki-laki adalah yang satu. Dan perempuan adalah yang lain. De Beauvoir (Selden, 1996: 137) mendokumentasikan bahwa wanita telah dibuat lebih rendah dan dalam tekanan ini menjadi berlipat ganda oleh keyakinan para laki0laki bahwa perempuan adalah lebih rendah kodratnya. Hal ini menandakan bahwa gender menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki-laki. Laki-laki menduduki peran superioritas dan perempuan hanya berperan sebagai inferioritas.

Istilah patriarki sendiri oleh Millet dalam Selden (1996: 139) mengartikan sebagai ”pemerintahan ayah” untuk menguraikan sebab penindasan wanita. Patriarki meletakkan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai inferioritas. Sistem patriarki yang telah mengakar dalam budaya masyarakat tradisional ini yang ingin didekonstruksi oleh kaum feminis.

Emansipasi berasal dari kata ”emancipacio” (latin), yang artinya persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan (Ratna, 2005: 224). Dalam hal ini, emansipasi lebih banyak dikaitkan dengan gerakan perempuan dalam menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Awal mula emansipasi ini dimulai oleh revolusi Amerika (1776) dan revolusi Perancis (1789) terhadap perjuangan perempuan yang menentang subordinasi intelektual perempuan dan menuntut keadilan antara perempuan dan laki-laki di lingkungan pendidikan (Cavallaro, 2004: 201). Gerakan emansipasi ini kerap diartikulasikan melalui representasi-representasi, citra-citra dan simbol-simbol kultural yang memasukkan khayalan dan cita-cita yang berlainan.


  1. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rulin Dwi Wahyuningsih dengan judul skripsi “Kajian Struktural Semiotik terhadap Kumpulan Puisi Kubur Penyair Karya Tjahjono Widarmanto” pada tahun 2003 yang lalu. Hasil penelitian ini memberikan deskripsi tentang kajian struktural semiotik pada puisi yang difokuskan pada konsep triadik Charles Sander Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol. Pengungkapan konsep triadik tersebut diawali dengan menunjukkan konvensi sastra seperti diksi, bunyi, dan bahasa kiasan ddngan terperinci yang kemudian pembongkaran maknanya dikaitkan dengan ikon, indeks, dan simbol yang ada dalam kumpulan puisi tersebut. Namun, penelitian ini hanya berhenti pada pemberian muatan makna pada ikon, indeks, dan simbol saja, tidak dilanjutkan pada pada pemberian makna yang lebih mendalam. Penelitian ini akan menjadi sangat menarik apabila dilakukan analisis yang lebih dalam dengan cara mengaitkan ikon, indeks dan simbol tersebut dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, kajian tersebut akan menjadi kajian interdisipliner karena mengaitkan dengan sosiologi, psikologi, atau teori sastra yang lain.

Penelitian yang berhubungan dengan feminisme sudah sangat banyak yang menganalisis, satu di antaranya ialah Rahmania dengan judul ”Peranan dan Citra Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen Hati Perempuan Karya Nia Sutiara”. Penelitian ini memberikan gambaran tentang citra wanita tradisional dan citra wanita yang diharapkan kaum feminis dalam kumpulan cerpen tersebut. Dalam penelitian ini terasa dipaksakan untuk dikaji secara feminis karena sebenarnya isi kumpulan cerpen tersebut lebih banyak memuat citra wanita tradisional dan hanya sedikit mengulas tentang eksistensi perempuan.

Pada penelitian kali ini, dengan bidang penelitian interdisipliner yang belum banyak ditemukan karena fokus kajian ini menekankan unsur feminis pada kumpulan puisi. Sebelumya, pendekatan feminis ini lebih banyak digunakan pada cerpen dan novel. Jadi, penelitian ini mencoba memberikan gambaran yang baru tentang penggunaan diksi dan bahasa kiasan yang mencerminkan gender dan emansipasi wanita. Untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam digunakan bantuan pendekatan struktural semiotik yaitu untuk membongkar unsur konvensi sastra khususnya diksi dan bahasa kiasan, sehingga diharapkan penelitian ini akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan fokus permasalahan yang diambil.


  1. Metode Penelitian

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang berjudul ”Gender dan Emansipasi Wanita dalam Kumpulan Sajak ”Nikah Ilalang” Karya Dorothea Rosa Herliany” ini memggunakan pendekatan interdisipliner antara struktural semiotik dengan pendekatan feminisme. Kedua pendekatan itu digunakan dalam menganalisis kumpulan puisi ini karena dalam kumpulan puisi tersebut terdapat diksi dan bahasa kiasan yang menunjukkan adanya pembagian jenis kelamin dalam gender dan juga adanya kekuatan emansipasi wanita terhadap perjuangan untuk menyetarakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Susunan diksi dan bahasa kiasan tersebut terjalin dengan sangat padu membentuk koherensi makna di antara teks-teksnya.

Dalam kumpulan puisi ini terdapat nilai artistik dalam mempersoalkan dikotomi peran perempuan mengenai hak dan kewajiban perempuan. Oleh karena itu, kumpulan puisi ini sangat sesuai dianalisis dengan menggunakan pendekatan struktural semiotik untuk mengungkap tanda-tanda dalam diksi dan bahasa kiasan yang merujuk pada feminisme dalam membongkar muatan makna gender dan emansipasi wanita yang tersirat dalam diksi dan bahasa kiasan tersebut.

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena hanya menjabarkan tentang deskripsi gender dan emansipasi wanita dalam kumpulan sajak ”Nikah Ilalang” Karya Dorothea Rosa Herliany.


B. Jenis Data Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan data yang diperoleh melalui data kepustakaan. Disebut data kepustakaan karena memanfaatkan berbagai macam pustaka yang relevan dengan fenomena sosial yang tengah dicermati (Hariwijaya, 2006: 44).

Data kepustakaan yang dimaksud ialah:

        1. kumpulan sajak “Nikah Ilalang” Karya Dorothea Rosa Herliany sebagai data primer karena digunakan sebagai objek kajian,

        2. data-data yang membahas tentang puisi,

        3. data-data yang membahas tentang pendekatan struktural semiotik,

        4. data-data yang membahas tentang pendekatan feminisme,

        5. data-data lain yang relevan dengan objek kajian.

Kumpulan sajak “Nikah Ilalang” tersebut berjumlah 112 puisi namun data yang diambil untuk penelitian ini hanya 25 puisi yang dianggap paling relevan dengan fokus kajian.


  1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah teknik kepustakaan. Teknik kepustakaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengumpulan data-data yang relevan dengan fokus permasalahan yaitu gender dan emansipasi wanita dalam kumpulan puisi “Nikah Ilalang” Karya Dorothea Rosa Herliany.

Prosedur penelitian yang akan dilakukan untuk mengumpulkan data meliputi beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu:

1. menentukan fokus kajian yang akan menjadi topik utama dalam penelitian ini yaitu analisis gender dan emansipasi wanita dalam kumpulan sajak “Nikah Ilalang” Karya Dorothea Rosa Herliany.

2. mengumpulkan data-data yang relevan dengan fokus kajian yaitu: data-data tentang puisi, struktural semiotik, feminisme, dan sebagainya.

Kegiatan pengumpulan data tersebut dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Mei dan Juni 2007. pengumpulan data itu diperoleh melalui perpustakaan kampus, buku-buku pribadi, data-data dari internet dan jurnal sastra, serta buku-buku pinjaman dari teman.

Berdasarkan perannya dalam mengaplikasikan teknik di atas, tampak bahwa dalam kegiatan pengumpulan data peneliti bertindak sebagai instrumen (human instrumen). Penggunaan manusia (peneliti) sebagai instrumen pengumpul data tersebut sejalan dengan pemikiran Moleong (2000: 221). Instrumen kedua yang digunakan dalam pengumpulan data adalah buku kumpulan sajak “Nikah Ilalang” Karya Dorothea Rosa Herliany.


  1. Uji Kesahihan data

Uji kesahihan data dalam penelitian ini menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2000: 173) ada empat, anmun dalam penelitian ini difokuskan pada dua aspek. Aspek-aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

              1. Standar Kepercayaaan (Peer Debriefing)

Prosedur yang digunakan untuk memenuhi standar kepercayaan ialah:

                1. Konsultasi dengan teman sejawat

Setiap langkah penelitian yang dilakukan dapat didiskusikan dengan teman sejawat atau teman yang memiliki kemapuan terhadap bidang yang dikaji. Dengan demikian, diharapkan penelitian yang dilakukan akan terus mendapatkan masukan yang berarti demi perbaikan kualitas kajian yang dilakukan.

          1. Melakukan Triangulasi Data

Dalam tahap triangulasi, untuk memperoleh kepercayaan data dapat dilakukan dengan merujuk pada beberapa skripsi dan penelitian yang ada dalam jurnal sastra yang relevan dfengan topik permasalahan. Beberapa data tersebut anatara lain:

(1) Skripsi yang berjudul “Kajian Struktural Semiotik terhadap Kumpulan Puisi Kubur Penyair Karya Tjahjono Widarmanto” oleh Rulin Dwi Wahyuningsih pada tahun 2003.

    1. Kaswadi. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa Cerpen “Nostalgia” Karya Danarto. Prasasti: Jurnal Ilmu Sastra dan Seni. 18: 122-130

    2. Skripsi yang berjudul ”Peranan dan Citra Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen Hati Perempuan Karya Nia Sutiara oleh Rahmania tahun 2001


        1. Kepastian Data (Confirmability)

Untuk memperoileh kepastian data, penelitian ini melakukan konsultasi dengan orang-orang yang berkompeten seperti dosen pembimbing dan dosen-dosen lain yang mumpuni di bidang kajin ini.


  1. Teknik Analisis Data

F. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dijadwalkan selama enam bulan dengan deskripsi kerja sebagai berikut.

Jenis Kegiatan

Bulan ke-


1

2

3

4

5

6

1. Persiapan Penelitian







a. Pembuatan Proposal

X






b. Studi Pendahuluan

X

X





c. Seminar Proposal Penelitian


X












2. Pelaksanaan Penelitian







a. Pengumpulan Data


X

X




b.Uji Kesahihan Data



X




c. Analisis Data














3. Laporan penelitian







a. Penyusunan Draf Penelitian





X

X

b. Penyempurnaan Draf





X

X

c. Seminar Hasil Penelitian






X

d. Penyempurnaan Laporan Penelitian






X

H. Biaya Penelitian

Biaya yang telah digunakan dalam penelitian ini sejumlah Rp 3.650.000. biaya tersebut dialokasikan sebagai berikut :

1. Honorarium

Guru 500.000

Tenaga Administratif 150.000

Penilaian Proposal 50.000

Pemantau Penelitian 100.000 800.000


2. Bahan dan peralatan

Kertas HVS 5 rim 200.000

Kertas folio bergaris 2 rim 50.000

Tinta printer 200.000

Satu set alat tulis 200.000

Penggandaan soal&LJK 100.000 750.000


3. Komunikasi dan perjalanan

Pencarian data 200.000

200.000


4. Laporan penelitian

Pengumpulan data 300.000

Analisis data 200.000

Penggandaan data 200.000

Revisi draf pelaporan 150.000

Pengetikan naskah dan penjilidan 200.000

1.050.000


5. Seminar

Seminar Proposal 200.000

Seminar Hasil Penelitian 250.000

450.000


6. Biaya lain-lain

Sewa komputer 200.000

Konsumsi selama pelaksanaan penelitian 200.000

400.000


Rekapitulasi Dana :

1. Honorarium 800.000

2. Bahan dan Peralatan 750.000

3. Komunikasi dan perjalanan 200.000

4. Laporan penelitian 1.050.000

5. Seminar 450.000

6. Biaya lain-lain 400.000

3.650.000



  1. Daftar Rujukan

Alka, David Krisna. 2005. Perempuan Menulis Puisi. Tersedia pada http://www.sinarharapan.co.id. Diakses 3 Juni 2007

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory: Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta: Niagara


Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa


Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama


Hariwijaya, M. dan Bisri M. Djaelani. 2006. Teknik Menulis Skripsi & Thesis. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Zenith Publisher


Herliany, Dorothea Rosa. 2003. Nikah Ilalang: Kumpulan Sajak. Cetakan Kedua. Magelang: Indonesiatera


Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya


Kaswadi. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa Cerpen “Nostalgia” Karya Danarto. Prasasti: Jurnal Ilmu Sastra dan Seni. 18: 122-130


Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia


Malna, Afrizal. 1995. Dunia Gender dari Penyair Perempuan dan Diksi laki-laki. Dalam Herliany, Dorothea Rosa. 2003. Nikah Ilalang: Kumpulan Sajak. Cetakan Kedua. Magelang: Indonesiatera


Moleong,...........................................



Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unesa University


Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


---------. 2003. Beberapa Teori sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Rahmania. 2001. ”Peranan dan Citra Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen Hati Perempuan Karya Nia Sutiara”. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya. Surabaya: JBSI FBS Unesa


Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


------. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


Semi, Atar. 1986. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya


Siswantoro. 2002. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press


Stiegler, Bernd. 2001. Strukturalisme dan Semiotik. (terj. Maya Barmazi). Tersedia pada http://www.cybersastra.net. Diakses pada tanggal 4 Mei 2007


Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar


Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1990. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores: Nusa Indah


Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: tentang tanda, cara kerjanya dan apa yang kita lakukan dengannya. (terj. Ani Soekawati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung


Wahyuningsih, Rulin Dwi. 2003. “Kajian Struktural Semiotik terhadap Kumpulan Puisi Kubur Penyair Karya Tjahjono Widarmanto”. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: JBSI FBS Unesa


Wijoto, Ribut. 2001. Strategi Tekstual Pastiche pada Puisi “Migrasi dari Kamar mandi”. Tersedia pada http://www.cybersastra.net. Diakses 20 April 2007



Tidak ada komentar: